Wednesday, August 22, 2018

Mazmur 113:5-9


Siapakah seperti TUHAN, Allah kita, yang diam di tempat yang tinggi, yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi? Sang nabi membuat dasar memuji Allah semakin kuat, dengan mengontraskan tingginya kemuliaan dan kuasa-Nya dengan kebaikan-Nya yang tak terbatas. Bukan karena kebaikan-Nya dapat dipisahkan dari kemuliaan-Nya. Tetapi pembedaan ini dibuat demi manusia, yang tidak akan sanggup menahan kemuliaan-Nya, jika Allah tidak merendahkan diri-Nya dengan kebaikan, dan dengan lembut menarik kita pada diri-Nya. Artinya adalah, bahwa Allah berdiam di tempat tinggi, begitu jauh dari kita, tidak mencegah-Nya untuk menunjukkan diri-Nya dekat dengan kita, dan dengan jelas menyediakan kebutuhan untuk kesejahteraan kita. Dan karena Allah berdiam di tempat tinggi, lebih besar lagi belas kasihan-Nya pada manusia, yang keadaannya rendah dan hina. Dengan adil Allah dapat saja memandang rendah bahkan para malaikat, jika bukan karena kasih sayang kebapakannya Ia merendahkan diri untuk memperhatikan mereka. Jika berkaitan dengan malaikat Ia saja merendahkan diri, apalagi dengan manusia, yang merangkak di bumi dan penuh kekotoran? Jawabannya sangat jelas. Allah dapat saja menginjak ciptaan-Nya yang paling mulia di bawah kaki-Nya, atau karena jarak yang begitu jauh, Ia dapat saja mengabaikan mereka sama sekali. Maka bukanlah karena kita dekat dengan Dia, sehingga Ia membungkukkan diri untuk memberi kita perhatian khusus, namun karena piilihan bebas-Nya.     

Sebagai ibu anak-anak, penuh sukacita. Artinya adalah, perempuan yang tadinya mandul sekarang diberkati dengan kesuburan, dan memenuhi rumah dengan anak-anak. Sukacita ini diperhitungkan pada para ibu, karena meski hati semua orang mengejar harta, nama, kenikmatan, atau keuntungan lainnya, tetapi keturunan ada di atas semua itu. Allah mengawasi jalannya alam secara natural, mengubah bagaimana peristiwa-peristiwa terjadi, meninggikan orang-orang yang berada dalam kondisi rendah, dan membuat perempuan mandul menjadi subur. Jika kita tidak merenungkan karya tangan-Nya dengan perhatian, ketidakpekaan kita tidak dapat dimaafkan.

Artikel oleh John Calvin
Terjemahan oleh Tirza Rachmadi

No comments:

Post a Comment