Wednesday, September 5, 2018

Mazmur 119:1-8


Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela. Sang nabi mengungkapkan paradoks yang sama, yang kita jumpai di awal kitab Mazmur. Semua manusia secara alamiah mencari kebahagiaan. Tetapi bukannya mengejarnya di jalan yang benar, mereka dengan gigih memilih mengembara melalui jalan-jalan pintas yang tidak berujung, sampai kepada kehancuran dan kebinasaan mereka. Sepantasnyalah Roh Kudus menghakimi ketidakpedulian dan kebutaan ini. Sebetulnya makna kata-kata ini akan nampak jelas bagi manusia, jika saja ia tidak dihanyutkan keserakahannya, dengan spontanitasnya yang liar. Semakin jauh seseorang meninggalkan Allah, ia kira dirinya semakin bahagia. Maka semua menganggap apa yang dinyatakan Roh Kudus tentang kesalehan sejati dan ibadah pada Allah, sebagai dongeng. Doktrin ini diterima oleh paling banyak satu orang di antara seratus.

Kata jalan atau hidup di sini berarti cara hidup, atau jalan hidup. Pemazmur menyebut orang-orang berikut lurus dalam jalan mereka, yaitu orang-orang yang kerinduannya dengan tulus dan seragam adalah melaksanakan keadilan, dan mendedikasikan hidup mereka bagi tujuan ini. Di bagian berikutnya ayat ini, ia mengatakan dengan lebih spesifik dan jelas, bahwa hidup yang saleh dan benar adalah berjalan menurut Taurat TUHAN. Jika seseorang mengikuti keinginan dan nafsunya, ia pasti akan tersesat. Bahkan jika seluruh dunia bertepuk tangan untuknya, ia hanya melelahkan dirinya dengan setiap kesia-siaan. Pertanyaannya, apakah sang nabi menutup harapan akan kebahagiaan sejati dari semua orang yang tidak menyembah Allah dengan sempurna? Jika demikian, maka hanya malaikat sajalah yang dapat berbahagia, karena ketaatan sempurna pada Taurat tidak dapat ditemukan di manapun di bumi. Jawabannya mudah: ketika ketidakbercelaan dituntut dari anak-anak Allah, mereka tidak kehilangan anugerah penghapusan dosa mereka, yang adalah satu-satunya sumber keselamatan mereka. Sementara para hamba Allah berbahagia, mereka masih perlu berlindung dalam belas kasihan-Nya, karena ketidakbercelaan mereka belum sempurna. Demikianlah orang-orang yang dengan setia menaati hukum Allah dikatakan berbahagia, dan apa yang dikatakan dalam Mazmur 32:2 digenapi, “Berbahagialah manusia yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN.”

Artikel oleh John Calvin
Terjemahan oleh Tirza Rachmadi

No comments:

Post a Comment