Sunday, September 23, 2018

Mazmur 119:159-170


Lihatlah, betapa aku mencintai titah-titah-Mu! Ya TUHAN, hidupkanlah aku sesuai dengan kasih setia-Mu. Ketika para orang kudus membicarakan kesalehan mereka di hadapan Allah, mereka bukan sedang menjadikan perbuatan baik mereka sebagai dasar kepercayaan mereka. Melainkan mereka berpegang pada prinsip berikut, bahwa Allah, yang membedakan hamba-hamba-Nya dari orang kurang ajar dan jahat, akan berbelaskasihan pada mereka, karena mereka mencari-Nya dengan seluruh hati. Selain itu, cinta yang tidak dibuat-buat akan hukum Allah adalah bukti adopsi yang tidak diragukan, sebab cinta ini adalah hasil karya Roh Kudus. Sang nabi tidak berbangga akan apapun dari dirinya, melainkan dengan tepat mengajukan kesalehannya dengan tujuan memberanikan dirinya, sehingga memegang harapan yang lebih meyakinkan akan pengabulan doanya, melalui anugerah Allah yang telah ia alami. Pada saat yang sama, kita diajar, bahwa tidak mungkin ada ketaatan sejati pada hukum, selain yang mengalir dari cinta yang bebas dan spontan. Allah menuntut korban persembahan sukarela, dan awal dari hidup yang baik adalah mencintai-Nya, seperti deklarasi Musa (Ul. 10:12), “Maka sekarang, hai orang Israel, apakah yang dimintakan dari padamu oleh TUHAN, Allahmu, selain dari mengasihi Dia.” Hal yang sama diulangi dalam ringkasan hukum (Ul. 6:5), “Kasihilah TUHAN, Allahmu.” Sebab itu Daud menyatakan sebelumnya, bahwa hukum Allah bukan saja berharga, namun menyenangkannya. Dalam menaati hukum, layaklah bagi kita untuk mulai dengan ketaatan sukarela, supaya tidak ada yang menyenangkan kita lebih daripada keadilan Allah. Dan di sisi lain, jangan kita lupakan bahwa kesadaran akan kebaikan Allah yang cuma-cuma dan kasih kebapakan-Nya, perlu dan tidak bisa tidak ada, supaya hati kita dicondongkan pada afeksi ini. Hanya perintah saja tidak mungkin memenangkan hati manusia untuk menaatinya, malah akan menakuti mereka. Maka jelas, hanya ketika seseorang telah mencicipi kebaikan Allah dari pengajaran hukum-Nya, maka ia akan mengarahkan hatinya untuk balas mengasihi-Nya. Seringnya sang nabi mengulangi doa ini, hidupkanlah aku, mengajar kita, bahwa ia sangat menyadari kelemahan hidupnya sendiri. Manusia hidup hanya sejauh Allah meniupkan hidup ke dalam mereka setiap saatnya.

Artikel oleh John Calvin
Terjemahan oleh Tirza Rachmadi

No comments:

Post a Comment